I Am Happy For You

16 November 2005, hari pernikahan kakakku.
Tidak pernah aku bayangkan dia akan menikah meski aku tahu usianya sudah cukup untuk berumah tangga. Kami jarang berbicara karena ia sibuk bekerja sehingga waktu kami bertemu tidak banyak. Saat tiba di rumah mempelai wanita, aku lihat dia tampak siap untuk mengucapkan ikrar pernikahan. Saat ia menoleh padaku, aku tersenyum dan mengacungkan dua jempol tanganku untuknya. Ia pun tersenyum, dan aku senang melihatnya.

Aku tidak memperhatikan jalannya ijab kabul, meskipun aku ada di sana tetapi pikiranku melayang dan dirasuki pertanyaan apakah benar ia menikah, apakah akan bertahan selamanya? Aku tak tahu jawabannya. Saat aku melihat proses pernikahan itu, air mataku mengalir begitu saja, tidak percaya dia menikah, aku terharu…
Ketika tiba saatnya memberi ucapan selamat kepada pengantin, aku genggam erat tangan kakak dan kuucapkan selamat. Ia tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Aku berharap mereka bahagia…

Dalam perjalanan pulang, aku masih memikirkan kakak. Kakakku yang kulihat sekarang sangat berbeda dengan kakak beberapa tahun yang lalu. Ketika itu ia sangat tak kukenali, jarang sekali ia ada di rumah. Tubuhnya begitu kurus, ada tato di tangan kirinya, pucat, tampak lebih tua daripada usianya dan sangat tertutup. Jika berada di rumah, ia selalu mengurung diri di kamarnya. Mulanya, mama, ayah, aku dan adikku tidak begitu memperhatikannya. Suatu hari mama marah padanya karena kakak meminta uang dalam jumlah besar, alasannya untuk pendaftaran kuliah lagi. Mama marah karena beberapa hari sebelumnya kakak sudah meminta hal yang sama dan mama memberikannya. Aku menangkap sesuatu yang aneh pada kakak.

Beberapa minggu setelah itu...
Ketika membersihkan kamar kakak, mama kaget karena barang-barang berharga di kamar kakak menghilang. Juga kendaraan yang biasa kakak pakai tidak ada lagi. Ketika mama tanyakan hal itu, kakak menjawab diperbaiki, dipinjam, hilang, dan lain-lain… Mama dan ayah marah, lalu menghukumnya dengan melarang kakak pergi ke luar rumah.

Suatu malam, aku mendengar suara dari kamar kakak. Kudengar baik-baik, ternyata kakak seperti mengerang dan merintih kesakitan. Aku datangi kamarnya dan kulihat mama dan ayah sudah ada di sana, kakak mengaduh, mengejang kesakitan lalu berteriak. Aku terkejut & tidak tahan melihatnya…

Sejak malam itu, mama dan ayah sering terlihat diam. Mama dan ayah sangat terpukul karena selama itu kakak telah membohongi mereka. Barang-barang yang menghilang itu ternyata kakak jual untuk membeli sabu, heroin dan narkoba lainnya yang aku tidak mengerti. Kakak sudah memakainya sejak masih di bangku SMA. Mama tidak bisa menerima bahwa kakak “bandel”, lalu mama mengirimnya ke pesantren di Tasikmalaya. Setelah dinyatakan “baik”, kakak pulang. Tetapi ketika di rumah, kakak kembali menyentuh obat-obatan itu karena “teman-temannya” terus menghubungi dan bertemu sambil merayu kakak lagi. Dan kakak tergoda lagi…menipu lagi…

Hal seperti itu terjadi berulang-ulang. Mama masih tidak mau percaya kalau kakak berubah “aneh” karena obat-obatan itu. Aku dan ayah meyakinkan mama kalau kakak perlu diperiksa secara medis, bukan sekadar dimasukkan ke pesantren. Lalu akhirnya kakak menjalani pemeriksaan secara menyeluruh.

Beberapa bulan kemudian, ada hal yang membuat mama dan ayah lebih terpukul, yaitu kabar bahwa kakak ternyata positif terinfeksi HIV… Jumlah CD4-nya sangat sedikit, ditambah kakak sangat kurus, sering diare, flu, lidah dan tenggorokannya sakit dan lemas… Sambil menangis, mama berusaha menerima sesuatu yang sebenarnya sudah terduga sebelumnya.

Mama berusaha tabah menghadapinya. Semula mama merasa hanya dirinya yang menderita karena kakak, dan merasa dirinya tidak berguna, gagal sebagai orang tua, tetapi akhirnya mama tersadar bahwa selama itu mama terlalu memanjakan kakak, segala yang diinginkan kakak pasti selalu mama penuhi. Mama pun mulai bergabung dengan komunitas orang tua yang memiliki anak bernasib seperti kakak, pengidap HIV-AIDS. Banyak seminar yang mama ikuti sampai mama terlihat kurus karena sangat sibuk dengan kegiatan barunya. Mama tidak peduli dengan banyaknya pengeluaran dan biaya pengobatan untuk kakak. Mama ingin kakak sehat lagi, meskipun harapan itu secara perhitungan manusia sangat tipis.

Kakak sudah ditangani psikiater, dan kakak tidak lagi pulang karena kakak tinggal di tempat rehabilitasi. Kakak sepertinya senang di sana. Aku bisa melihat perubahannya, badannya tidak kurus lagi, wajahnya terlihat bersinar dan aku seperti melihat kakakku yang baru.

“De, kakak jahat ya sama kalian… “, suatu hari kakak katakan itu ketika aku menengoknya di sana, “Mama pasti menderita karena aku ya…” . Aku hanya tersenyum.
Ya, mama dan ayah sangat kecewa, sedih, menderita juga marah. Tetapi mereka juga tidak menyalahkan kakak, mereka juga merasa bersalah.

Kemudian, kakak diizinkan pulang sementara, dengan pengawasan petugas di sana. Aku senang karena ketika diperiksa kadar CD4 kakak berangsur naik, itu menunjukkan imunitas tubuh kakak mulai membaik. Harapan bahwa kakak bisa sembuh pun bertambah. Kakak bekerja di yayasan, di rumah sakit, juga klinik AIDS. Kakak terlihat menikmatinya. Aku pun melihat pandangan hidupnya berubah, motivasi untuk tetap hidup dan sehat, begitu kuat. Kakak tidak malu mengakui bahwa dirinya penderita AIDS, kakak pun bersemangat untuk menjalani kehidupan yang baru. Aku bisa merasakannya.

Suatu hari aku dan kakak jalan-jalan di daerah Bandung Selatan yang sejuk. Kami jarang sekali bisa berekreasi bersama seperti itu.

"Kakak, tangannya jadi jelek gini, ih...", kataku sambil mengelus bekas luka operasi di lengan kiri atasnya. Kakak tersenyum, "Tapi, bagus seperti ini kan, kamu juga ga suka gambarnya kan?". Aku tersenyum dan mengiyakan dalam hati.
“De, kamu periksa darah deh, supaya yakin tidak tertular”, kata kakak.
“Kakak...??”, jawabku.
“Eh, kamu ga tau ya, aku kan pernah...,” kakak mengatakan itu dengan mimik serius.
Aku kaget mendengarnya, “KAKAK….!!?”, aku berteriak sambil melotot pada kakak. Kupukul tubuhnya dan kucubit dia keras-keras.
Kakak malah tertawa, “Kena kau…. Tenang De.., ga ko, masa sih kakak tega nularin penyakitku sama adikku sayang…”, katanya sambil memelukku, “De, aku mau menikah, do’akan kakak ya..”.
Aku kaget mendengarnya, “Menikah?”.
“Iya.”
“Sama siapa?”, tanyaku penasaran.
“Sama patung liberty… Ya, sama perempuan dong, De. Namanya Nia, cantik lo…”
“Iya, percaya.. Tapi…?”
Kakak tersenyum, “Iya, dia juga sama dengan aku.”
“Kakak…”
“Tenang, Sayang, kami tahu apa yang harus kami lakukan. Makanya, do’akan kakak ya?”.

Aku takjub akan keputusannya untuk menikah, juga dengan wanita pilihannya yang senasib dengannya. Aku yakin kakak tahu apa yang dipilihnya. Saat mama tahu hal itu, mungkin berbagai rasa berkumpul dalam hatinya, sedangkan ayah percaya pada kakak. Dan yang jelas kami bahagia untuk kakak, semoga kakak bahagia dengan pilihannya itu…

Kakak… I am happy for you…
Barakallahu…