
Adikku tiba di rumah pukul 00.24 WIB. Ia datang dengan travel yang biasa ia naiki. Aku yang terkantuk-kantuk membukakan pintu rumah. Ia datang dengan senyuman yang menyenangkan. Sambil memelukku dia menyapa aku, "Assalaamu 'alaikum Kak, apa kabar?". Mama dan ayah ikut terbangun, lalu menyambut kedatangan adikku. Kami sudah lama tidak berjumpa, terakhir kali saat Idul Fitri dua bulan lalu.
Dini hari itu kami sekeluarga minus kakak menghabiskan sisa malam dengan bercengkerama. Rasa kantukku pun berangsur menghilang. Aku senang mendengarkan adikku berbicara dan bercerita banyak hal. Ya, setelah bekerja, aku merasa dia semakin pandai dan banyak pengalaman. Aku terkadang ingin juga seperti dia, bekerja, tetapi aku masih harus menyelesaikan pendidikanku. Kami saling menceritakan apa yang kami alami selama kami tidak bertemu.
"Mama..., Ayah..., Kak..., hm... kalau aku menikah tahun depan gimana?", sebuah pertanyaan meluncur dari mulut adikku dengan nada yang riang.
"Subhaanallaah...", mama memekik tertahan karena tersadar masih dini hari. Ayah dan aku tersenyum. "Oya, siapa namanya? Kapan ketemunya? Di mana? Orang mana?", aku menghujaninya dengan pertanyaan.
"Namanya Dafa, orang Betawi, sama ko pekerjaannya, hanya beda perusahaan...", jawabnya penuh senyum. Aku akhirnya tahu penyebab dia tampak riang dan senang ketika pulang saat itu. Perbincangan pun berlanjut dengan menyenangkan sampai waktu shubuh hampir tiba.
Ketika aku bersiap akan pergi kuliah, adikku datang ke kamarku.
"Kak, mau pergi, ya?", tanyanya sambil duduk di tempat tidur.
"Iya. Ko ga istirahat? Cape kan?", jawabku.
"Kak.., Kakak ga marah aku mau nikah?", tanyanya lagi.
"Lo, memangnya kenapa? Ko marah? Ya senang dong...", jawabku sambil menoleh padanya.
"Hm...tapi... apa Kakak ga kecewa?"
Aku tersenyum dan kukatakan padanya, "Kecewa karena kamu mendahului kakak?". kulihat dia menatap padaku.
"De, meskipun mama ingin kita menikah berurutan seperti urutan kita dilahirkan, kita tidak bisa menghindari keinginan Allah. Kalau kakak memang belum bertemu dengan pangeran kakak, apa kamu mau menunggu?"
Adikku tersenyum, "Iya sih, tapi aku ga enak mendahului Kakak. Maaf ya, Kak.."
"De, kenapa mesti minta maaf? Ga ada yang salah ko. Sudah Allah tentukan."
"Tapi, Kakak bukan trauma sama yang dulu-dulu kan?" tanyanya lagi.
"Ga trauma, De, tapi sekarang Kakak berusaha dewasa dalam hal seperti ini. Kakak harus lebih berhati-hati. Insya Allah Kakak juga akan menyusul kamu, tenang aja... Allah udah siapkan sang pangeran juga untuk Kakak. Hanya Kakak belum tahu siapa dia dan kapan akan menjemput Kakak..", kataku meyakinkan dia.
"Iya, Kak, pasti ada yang tulus sama Kakak dan pasti ikhwan yang Allah pilihkan untuk Kakak adalah yang terbaik. Pasti dia sayang sama Kakak!", adikku menyemangati aku.
"Aamiin... Insya Allah... Aku juga berharap Bang Dafa-mu itu tulus padamu dan bisa menjadi qowwam yang baik dalam rumah tangga kalian nanti. Selamat ya, De...", harapku pada-Nya.
"Aamiin... Insya Allah... Makasih ya Kak...", adikku memelukku erat.
Aku tersenyum, "Semoga bahagia, semoga Allah ridhai dan semoga Allah mudahkan segalanya..".
"Kakak pergi dulu ya, ada janji jam tujuh nih.."
"Ya, Kak, hati-hati... Nanti sore kita ke rumah Kak Heru dan Kak Nia ya..?"
"Insya Allah.. "
"Kak, aku pake komputernya ya, mau ngetik."
"Ok, Assalaamu 'alaikum.."
"Wa 'alaikumsalaam...", adikku menjawab salamku dengan ujung bibir yang tertarik ke atas.
Aku pergi dengan perasaan senang, tidak ada perasaan iri atau sedih. Setiap orang punya jalan hidup masing-masing, dan aku sedang menjalani hidupku...
No comments:
Post a Comment