Wednesday, February 21, 2007

My Sweet Brother

Januari 2007

Kuturuni tangga ke lantai dasar untuk menyimpan barang-barangku itu di loker. Ketika aku akan melewati pintu menuju ruangan tempat lokerku berada, tiba-tiba dari samping kiriku terdengar seseorang memanggilku, “Non…” Suatu nama panggilan untukku yang hanya dipakai ayahku dan orang-orang tertentu saja.
Kutolehkan kepalaku ke arah suara itu berasal, kulihat seseorang yang kukenal baik, “Abang!!!”, seruku tertahan padanya yang sedang duduk di bangku.
Dia mengacungkan jari telunjuk kanannya, meletakkannya di mulutnya, lalu menunjuk ke arah barang-barangku dan kemudian menunjuk ke arah ruangan yang akan kumasuki. Aku nyengir dan mengangguk.

Setelah selesai, aku hampiri abang dan duduk di dekatnya. “Abang… kapan datang?”, tanyaku. “Dua hari yang lalu. Apa kabar, Non?”, tanyanya.
“Baik, Bang. Abang juga kan? Abang ngapain ke sini?”
“Alhamdulillah, seperti yang Non lihat. Abang ke sini mau jemput Non, tadi Abang ke rumah & sudah bilang ke mama. Sudah salat Zhuhur belum? Sudah jam dua lo.”
Kulihat jam di tanganku, “O, iya, belum Bang, aku salat dulu ya..”
Setelah salat di mesjid, aku kembali, bersama Riana, temanku, ke tempat abang duduk.
“Bang, antar Riana sekalian ya, rumahnya kan jauh”, pintaku padanya. Abang mengiyakan, “Boleh, tapi kita makan dulu yuk, Abang lapar nih. Kita makan di Tugu ya, Abang kangen masakan di sana.”

Kami pergi ke kantin di Tugu yang sering dikunjungi abang ketika masih kost di sini. Abang adalah kakak tingkat aku dan Riana, namanya Daus. Dia sudah lulus dua tahun yang lalu, sekarang sedang berdinas di Lampung. Abang ada di Bandung untuk menghadiri seminar.
Keluarganya dan keluargaku cukup dekat, ayahnya adalah teman ayahku. Aku mulai dekat dengannya ketika aku masuk kuliah. Abang banyak membantuku dalam hal akademis. Dia sering menasihati dan menyemangati aku, terutama saat awal kuliah, ketika dia tahu aku kecewa masuk fakultas ini. Abang orang yang pandai berorganisasi, dia sering menjadi ketua di berbagai kegiatan. Kedekatanku dengan abang sering dicemburui banyak orang, terutama teman-temanku yang perempuan, maklum di kampusku jumlah mahasiswi lebih banyak daripada jumlah mahasiswa, hihihi… Salah apa aku sama mereka ya? Aku sih santai saja menghadapi mereka. Abang pun mengatakan bahwa sebaiknya aku biarkan saja, nanti juga mereka diam dan capek sendiri. Benar saja, ketika abang lulus, aku jarang bertemu abang dan mereka diam juga. Baru sekarang aku bertemu lagi setelah menjelang Idul fitri tahun lalu. Dan baru sekarang juga aku bisa mengobrol lagi dengannya.

“Abang, mana undangannya? Dzulhijjah kan dah mau lewat.” tanyaku padanya, karena saat terakhir bertemu, Abang katakan akan menikah bulan Dzulhijjah.
Abang hanya tersenyum, “Belum diizinkan… tunggu saja ya. Kalian gimana, bisa ngejar tahun ini kan? Ayo semangat!”, katanya.
”Aamiin..”, kataku, “Bang, nanti aku ingin ke pedalaman Kalimantan aja. Menurut Abang gimana?”
“Hm…pikirkan lagi baik-baik ya… Non di sana sendirian, lama, jauh dari kota, dan Abang ga bisa nemenin,” jawabnya.
“Abang ada-ada aja. Aku berani ko, Riana juga pengen ke sana. Ya kan Na?” kataku. Riana mengangguk dan mengacungkan jempolnya.

Abang tetap memberikan alasannya tidak setuju dengan keinginanku itu, meskipun akhirnya dia katakan akulah yang akan menentukan keputusan, dan itu terserah aku. Aku memang ingin sekali ke rimba di Kalimantan. Apakah keinginan itu akan terwujud atau tidak, hanya Allah yang berhak menentukannya dan yang jelas aku tahu suatu saat aku bisa berubah pikiran, jadi tidak ada salahnya jika saat ini aku punya keinginan itu.
Abang mengantarku pulang setelah kami mengantar Riana. Abang yang sabar itu akhirnya pergi lagi untuk bertugas di tanah seberang. Aku tak tahu kapan akan bertemu lagi dengannya...

No comments:

 
Dear Diary Blogger Template